Selamat Datang Sahabatku...

Orang yang beruntung adalah mereka yang bisa mengambil hikmah dari setiap episode kehidupannya... (Uga Firman Ibadurahman)

Senin, 25 April 2011

BIOGRAFI Uga

Mantan Pedagang Asong yang kini menjadi

- Presiden Direktur Bangkit Gemilang Training & Consultant

- Motivator Bangkit Gemilang

- Dewan Mentor Komunitas Trainer Muda Bandung

- Dewan Penasehat READ'ers Book love'ers Community

- Director of Program BANGKIT Communication School

- Director of Program ABG (Agen Bangit Gemilangi)

- Director of Program GERAK BANGKIT (Gerakan Teman dan Kakak Asuh Bangkit)

- Owner Bangkit Cendekia Bimbingan Belajar

- Konsultan Motivasi Pelajar, Mahasiswa dan Pendidik di Indonesia

BIOGRAFI :

Bismillahirrahmanirrahim…
Puji syukur Saya panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan kehidupan yang luar biasa ini. Salawat serta salam semoga melimpah kepada Nabi Muhammad SAW, pemberi teladan, mengajarkan kita agar senantiasa melestarikan silaturahim…
Silaturahim ternyata dampaknya begitu dahsyat, bahkan rangkaian kesuksesan Saya di dunia ini tak lepas dari apa yang namanya silaturahim.
Saya, Uga Firman Ibadurrahman lahir di sebuah desa, tepatnya di kaki Gunung Tangkuban Parahu, daerah yang memiliki atmosfer udara sangat sejuk, sehingga tak pernah sepi dari wisatawan domestik maupun mancanegara.
Di kampung halaman Saya, sangat bisa dihitung dengan jari orang-orang yang kaya secara materi, para pemuda banyak yang menganggur dikarenakan pendidikan yang rendah dan kurangnya pengalaman. Sebuah “penyakit” orang Sunda yang membuat mereka tidak maju yaitu “makan enggak makan asal kumpul” mereka tidak mau pergi merantau seperti orang Padang yang di mana-mana buka restoran atau rumah makan Padang. Mereka lebih nyaman dengan tinggal di kampung halaman walaupun jadi seorang pengangguran. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang menjadi bujang tua.
Sejak usia dua tahun Saya dibesarkan oleh Ibu, Nenek, Kakek, Paman, Bibi, Om dan Tante. Ke manakah Ayah Saya? Pertanyaan itu belum ada, karena sewaktu kecil Saya menganggap Kakek, Om dan Paman Saya adalah ayah terbaik Saya. Namun aneh, sering kali orang yang sangat asing datang hampir setiap bulan sekali mengunjungi Saya dan mengirimkan bingkisan berupa makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
Masa-masa kecil Saya begitu menyenangkan, karena keluarga besar kakek lumayan berkecukupan. Saya dibesarkan mereka dengan penuh kasih Sayang. Terutama Om Saya yang berprofesi sebagai Sopir di sebuah ekspedisi sayur-mayur. Beliau menyayangi Saya seperti anaknya sendiri, bahkan melebihi kasih Sayangnya kepada anaknya sendiri.
Ketika Saya berusia enam tahun, Saya diajak Ibu untuk pergi ke satu tempat, Ibu bilang bahwa kita akan ketemu Ayah. Setiba bertemu dengan Ayah, entahlah yang ada bukanlah perasaan rindu, melainkan perasaan benci yang amat sangat. Saya pun menangis sejadi-jadinya dan meminta pulang pada Ibu Saya. Masih terngiang, Ayah berjanji pada Ibu akan membelikan sebuah motor agar motor itu bisa disewakan pada tukang ojek, dan Ayah pun berjanji akan menyekolahkan Saya sampai sarjana. Saya tidak tertarik dengan janji Ayah, mungkin Saya masih terlalu dini memahami apa arti sarjana.
Waktu berlalu begitu saja, setiap malam Saya sering mendengarkan Ibu menangis, Saya masih belum mengerti apa yang membuat Ibu menangis. Ibu benar-benar wanita hebat, ia mau berjualan apapun keliling kampung untuk membiayai sekolah Saya, maklum waktu Saya SD belum ada program BOS. Sedikit demi sedikit Saya memahami keadaan. Ternyata ibu adalah istri kedua Ayah, Ayah sebelum menikahi Ibu telah memiliki seorang anak dari istri pertamanya.
Ujian selalu datang kepada Saya dan Ibu, Ibu sangatlah cantik, sehingga banyak orang yang mengganggunya. Sayang waktu itu Saya masih kecil, sehingga Saya tidak bisa apa-apa. Pernah satu hari beliau ada yang mengajak nikah, namun Saya tidak setuju dan Ibu pun menuruti apa keinginan Saya. Saya takut kehilangan Ibu.
Ketika Saya kelas 6 SD, Ibu pergi dari rumah tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Saya begitu sedih, karena seseorang yang selalu menemani Saya tidur kini pergi entah ke mana. Nenek bilang Ibu pergi mencari kerja untuk mencari biaya sekolah Saya dan berjanji akan segera pulang. Bulan berganti bulan Ibu tak datang juga, untungnya Saya memiliki Nenek, Kakek, Om, Tante, Bibi dan Paman yang begitu menyayangi Saya seperti anaknya sendiri.
Akhirnya Ibu datang dan Saya pun bahagia sekali bertemu Ibu, namun kebahagiaan Saya tidak begitu lama, ternyata Ibu bekerja sebagai pembantu, bahkan ia sering dipukul oleh anak majikannya. Sedih hati ini mendengarnya. Satu tekad Saya, Saya harus mengangkat derajat Ibu. Ibu harus bahagia, tidak boleh menjadi pembantu lagi. Setahun kemudian doa Saya dikabulkan. Ibu bercerai dengan Ayah dan dinikahi oleh seorang pemuda yang masih bujangan yang sangat soleh dan penuh tanggung jawab, bahkan usianya 6 tahun lebih muda dari Ibu. Walaupun beliau hanya seorang karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, tapi Saya melihat kebahagiaan di mata Ibu. Kini Ibu berada dengan orang yang sangat mencintai dan menyayanginya.
Saya tetap tinggal dengan Nenek dan Kakek, biarlah Ibu merajut keluarga barunya di sebuah kota yang cukup jauh dari kampung halaman Saya. Saya tidak ingin menjadi beban bagi keluarga baru Ibu. Ibu sudah tidak menjadi pembantu dan sudah bersuami lagi Saya sudah cukup bahagia.
Krisis keuangan melanda keluarga besar Kakek, usaha Kakek pun satu persatu gulung tikar. Yang lebih menyedihkan, Kakek bekerja di tempat salah satu mantan mitra bisnisnya. Rumah pun dijual dan akhirnya Nenek membangun sebuah rumah sangat sederhana sekali di atas tanah warisan peninggalan Almarhumah Ibunya.
Saya sudah SMP kelas dua dan harus belajar mandiri. Biaya sekolah Saya tidaklah murah karena Saya sekolah di sebuah SMP yang lumayan jauh dari rumah, sehingga Saya harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi. Saya tidak ingin menjadi beban lagi bagi Nenek. Dan petualangan pun dimulai.
Salah satu Om Saya dipercaya menjadi agen kerupuk jengkol, Saya mencoba menemani Om untuk keliling kampung untuk menjadi pemasok ke warung-warung. Tidak menggunakan mobil, atau sepeda motor melainkan jalan kaki. Rasa gengsi Saya buang jauh-jauh demi sekolah. Saya ingin menjadi seorang “presiden”. Itu cita-cita Saya.
Suatu hari teman Saya mengajak untuk menjadi pedagang asong, berjualan bingkai foto di Tempat Wisata Gunung Tangkuban Parahu, awalnya Saya menolak, karena Saya malu untuk bertemu orang banyak, apalagi para pengunjung di sana banyak dari luar daerah, terutama Saya malu karena mungkin Saya sudah mengalami puber alias malu sama pacar. Namun rasa malu itu tak bertahan lama, kondisi keuangan akhirnya mampu mendobrak rasa malu itu.
Saya pun mencobanya. Di hari pertama Alhamdulillah, Saya mendapatkan uang tujuh ribu rupiah. Uang sejumlah itu lumayan besar bagi Saya. Cukup untuk sekolah selama satu Minggu. Namun namanya juga jualan, kadang untung, kadang tak mendapatkan penghasilan sepeser pun karena cuaca yang ekstrim. Sehingga wisatawan yang datang sedikit sekali, mau tak mau harus pulang dengan berjalan kaki menyusuri hutan pinus yang lebat dengan jarak tempuh 10 km.
Suatu hari bisnis bingkai agak lesu, Saya mencoba beralih ke dagangan lainnya, namun apa daya Saya tidak mempunyai modal. Alhamdulillah berkah silaturahim dengan seorang pedagang Tasikan (barang-barang Tasik), Saya mencoba berjualan mainan anak-anak buatannya. Awalnya agak sulit menjualnya, tapi karena terus menerus mencoba ditawarkan pada wisatawan akhirnya terjual juga.
Akhirnya Saya mengasah terus keterampilan jualan Saya dengan cara melihat dan memperhatikan para pedagang lain yang sudah lama berpengalaman. Akhirnya Saya meniru mereka, dan Alhamdulillah hasilnya begitu memuaskan. Kreativitas jualan Saya pun terus Saya asah. Ketika itu Saya sering mendengarkan ceramah-ceramah Aa Gym lewat radio MQ, bahwa berbisnis itu harus menggunakan hati jangan lupa 5S; Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun.
Saya mencoba jualan gaya baru dengan mengutamakan pelayanan yang memuaskan, walaupun Saya hanya seorang pedagang asong. Setiap orang yang Saya tawari selalu diawali dengan senyuman seikhlas mungkin, tak peduli dia mau beli atau tidak, karena bagi Saya, Saya telah memberikan sedekah yang paling mudah, yaitu senyuman. Perkara dia beli atau tidak itu bukan urusan Saya.
Selain itu Saya sering bertanya, dari mana dia berasal. Meski kadang banyak yang bilang Saya sok kenal sok dekat, tapi biarlah namanya juga percobaan daripada tidak mencobanya sama sekali. Di setiap transaksi jualan, Saya tak pernah memaksa agar para pengunjung membeli dagangan Saya, karena Saya berprinsip rezeki itu tak akan ke mana, yang penting Saya berusaha semaksimal mungkin memberikan pelayanan terbaik dengan sopan dan santun. Alhamdulillah cara ini cukup efektif, sehingga banyak para pembeli akhirnya minta diantar keliling-keliling tempat wisata.
Saya tak segan-segan menceritakan tentang legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi kepada para mereka, alhasil mereka sering memberikan uang tip yang jumlahnya lebih besar daripada untung jualan Saya. Bahkan sering kali Saya disuruh berkunjung ke tempat asal mereka. Saya merasa bahagia karena mereka merasa puas berkeliling tempat wisata ditemani Saya. Bahkan salah seorang pengunjung berbicara kepada Saya bahwa mereka nyaman ditemani Saya karena sepanjang perjalanan, Saya tak pernah menawarkan barang dagangan Saya.
Pernah satu hari Saya mendatangi tempat Ayah bekerja, namun Saya tidak bertemu dengannya, padahal uang Saya tinggal dua ratus perak sedangkan ongkos untuk pulang Saya harus punya empat ribu rupiah. Akhirnya Saya pulang kembali dengan berjalan kaki menempuh jarak kurang lebih 35 km. Sangat kecewa, tapi apa boleh buat, Saya harus pulang ke rumah dan meneruskan episode kehidupan Saya.
Ketika tamat SMP, Saya melanjutkan sekolah ke sebuah SMK jurusan Teknik Mesin dengan alasan Saya akan mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah nanti. Bahkan salah seorang paman Saya memberikan harapan bahwa Saya akan disalurkan ke Korea atau Jepang, karena beliau bekerja di sebuah perusahaan Penyaluran Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
Biaya melanjutkan ke SMK tidaklah sedikit, akhirnya Saya memberanikan diri mendatangi Ayah untuk meminta biaya sekolah. Alhamdulillah Ibu tiri Saya menyanggupinya. Dan akhirnya Saya pun sekolah seperti biasa, namun biaya sehari-hari Saya bingungkan, karena biaya yang diberikan sangat pas-pasan untuk sekolah saja, sedangkan di SMK banyak sekali praktek di mana kita harus membeli bahan atau media untuk praktek dan Saya masih canggung untuk meminta uang pada Ibu tiri Saya.
Akhirnya Saya memberanikan diri untuk mencari uang tambahan dengan mengamen di Jalan Simpang Dago Bandung. Saya tidak merasa malu, karena Saya menganggap bahwa mengamen tidak hina seperti pengemis, apalagi Saya tidak pernah memaksa penumpang untuk memberikan uang. Setiap kali Saya bernyanyi, Saya selalu maksimal ingin menghibur para penumpang, maka tak jarang banyak penumpang yang memberikan uang kertas seribu bahkan lima ribu rupiah. Setelah Saya mendapatkan uang cukup dari mengamen Saya pulang ke sebuah sanggar lukis tempat Saya menitipkan diri selama Saya sekolah.
Saya hanya bertahan satu semester saja, banyak alasan Saya memutuskan keluar dari sekolah itu, pertama Saya sering menjadi objek cacian bahkan sering uang jajan Saya diambil paksa oleh teman-teman Saya yang merasa badannya lebih besar dan merasa jagoan. Faktor kedua yang membuat Saya keluar sekolah karena Saya dominan otak kanan yang sangat tidak suka dengan pembelajaran hitung-menghitung, sedangkan di SMK jurusan teknik mesin hampir semua pelajaran menggunakan hitung-menghitung, seperti pelajaran Perhitungan Dasar Konstruksi Mesin dan Gambar Teknik.
Akhirnya bebas juga dari tugas-tugas sekolah yang membuat kepala Saya pusing tujuh keliling. Dan Saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Saya memilih untuk melanjutkan sekolah di kampung halaman saja. Namun Saya tidak bisa langsung masuk melainkan harus menunggu tahun ajaran baru. Agar waktu menunggu Saya tidak sia-sia, Saya ikut bekerja di tukang alat-alat jahit milik seorang guru mengaji sambil belajar menjahit.
Saya melanjutkan sekolah yang sempat terhenti dengan penuh semangat, Saya lebih enjoy belajar di sekolah baru, karena di sini pelajaran matematika hanya seminggu sekali, sedangkan Fisika dan Kimia dua minggu sekali. Yang membuat Saya semangat yaitu dengan banyaknya praktek seperti pengolahan hasil ternak; Susu, telur, dan lain-lain. Sambil sekolah, Saya mempraktekkan ilmu sekolah di rumah, membuat usaha telur asin. Saya meminta anak-anak yatim piatu untuk berjualan telur asin, namun seminggu kemudian usaha telur asin pun bangkrut, karena barang habis uang pun tak ada. Berbagai alasan yang sangat logis bagi Saya.
Saya menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada, pelajaran berharga pun Saya dapatkan. Dua tahun sekolah tanpa masalah, namun kendalanya tetap pada biaya sekolah yang tak tertutupi.
“Sukses tanpa sekolah Saya yakin bisa, tapi sukses tanpa belajar Saya yakin tidak bisa”.
Putus sekolah, itu keputusan akhir Saya. Saya beralih menjadi aktivis kampung, yaitu aktif sebagai ketua Remaja Masjid dan aktif di Karang Taruna. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari Saya menjadi pelayan di kios bakso milik ketua Ibu majelis taklim.

TO BE CONTINUE...

Ikuti perjalanan hidup saya selengkapnya di Buku: Menjadi Kaya dengan Silaturahim :)